Kitakini.news – Konflik Harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae) yang terjadi di Kabupaten Langkat menjadi polemik yang pelik. Konflik pun kian memanas saban hari, dimana ternak warga jadi korban dimangsa si Belang.
Konflik harimau paling banyak terjadi di Kecamatan Besitang, Batangserangan dan Bahorok. Beberapa hari terakhir, jumlah ternak warga yang dimangsa kian banyak. Lima ekor lembu milik warga Dusun Batu Katak, Desa Batu Jonjong, Kecamatan Bahorok, mati dalam satu malam, Senin (11/1/2021). Kebanyakan dari hewan ternak itu mendapat luka gigitan di leher dan cakaran.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara mencatat, sepanjang 2020 hingga Januari 2021, lebih dari 20 konflik harimau dengan manusia. Bahkan diantaranya juga memakan korban jiwa.
Untuk menyikapi konflik yang terjadi, para jurnalis yang tergabung dalam Sumatra Tropical Journalist (STFJ) Sumut menggagas diskusi bertajuk Telusur Jejak Harimau Sumatra di Langkat. Dalam diskusi ini, STFJ mencoba menggali lebih jauh lagi, mengapa konflik semakin masif.
Direktur STFJ, Rahmad Suryadi menjelaskan, diskusi ini diselenggarakan berawal dari kegelisahan para jurnalis yang melihat meningkatnya konflik harimau yang terjadi. Bukan hanya di Kabupaten Langkat, seperti kasus teranyar terjadi di Dusun Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba. Harimau memangsa ternak warga pada 13 Januari 2021 lalu.
“Kondisi ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama lintas pihak. Perlu rumusan solusi yang bijak dalam penanganannya. Paling tidak bisa meminimalisir dampak konflik yang terjadi di sejumlah daerah. Kita sebagai jurnalis juga punya tanggung jawab itu untuk bisa sama-sama berkontribusi dalam upaya konservasi lingkungan,” ujar Rahmad, Minggu (17/1/2020).
Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga begitu penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal.
“Begitu juga dengan jurnalis yang punya tanggung jawab edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat juga memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam, supaya alam tetap baik kepada manusia,” ungkap Rahmad.
Harimau Masuk karena Ada Hewan Ternak Tak Dikandangkan
Sebelumnya, BBKSDA menyimpulkan jika Harimau Sumatra masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap, yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.
Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara itu, kebun yang dikelola tersebut sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL.
Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.
“Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau. Artinya memang perlu pendekatan yang lebih intensif kepad masyarakat,” ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat, Puji Hartono.
Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL, Rinaldo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktifitasnya meningkat di kawasan TNGL. Diantaranya adalah kerusakan lahan, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.
Pihaknya juga berupaya melakukan upaya persuasif kepada masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam kawasan hutan. Dugaan yang mencuat adalah soal penurunan jumlah pakan satwa di dalam hutan. Sehingga harimau bisa masuk ke kawasan kelola masyarakat. Sementara, ada peningkatan populasi satwa sehingga kebutuhan paan juga semakin meningkat.
“Perlu sosialisasi masyarakat, disarankan masyarakat melakukan pengandangan satwa ternak,” ungkap Rinaldo.
Program Manager WCS-IP, Tarmizi mengatakan, program pengandangan ternak ini terkendala lahan. Ada juga masyarakat yang memiliki ternak tapi tidak memiliki lahan untuk kandangnya.
“Ini menjadi PR kita bersama. Solusi lainnya yang juga bisa ditambahkan, masyarakat harus diberikan pemahaman tentang bagaimana menanam pakan ternak sendiri. Sehingga tidak lagi melepas ternaknya di perkebunan,” ungkap Tarmizi.
Staff Capacity Building LCP Ismail mengatakan jika, pengandangan bisa dilakukan secara kolektif. Sehingga bisa menghemat biaya dalam pembangunannya.
Sementara itu, Khairul Azmi dari Sumatra Tiger Project berharap, ada satuan tugas yang dibentuk untuk penanganan konflik harimau. Kepala daerah setempat yang harusnya berkewenangan membentuk Satgas ini. Sehingga ada langkah cepat dan koordinasi yang baik dalam penanganan konflik.
Merubah Pola Beternak Perlu Kerja Ekstra
Kepala BBKSDA Sumatra Utara, Hotmauli Sianturi menjelaskan, jika harus ada upaya perubahan pola peternakan masyarakat. Tentunya, mengubah pola peternakan masyarakat juga bukan pekerjaan mudah. Harus ada kerja sama lintas pihak untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Hotmauli pun berharap Dinas Peternakan di daerah setempat juga memberikan perhatian kepada para peternak.
“Mengubah pola peternakan ini sangat penting dilakukan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dengan kehilangan ternaknya karena dimangsa oleh harimau,” pungkasnya.
Reporter : Syahrial Siregar