Joko Widodo: Mau Wartawan, Hantu atau Malaikat Tetap Harus Izin Ambil Foto
Kitakini.news -Joko Widodo, Hakim Pengadilan Negeri Medan berang dan emosi kepada salah seorang wartawan saat mengabadikan momen dengan mengambil foto pada persidangan perkara penggelapan Rp8,6 miliar di PT Bank Mega yang menyeret Supervisor Bank Mega, Yenny (47), Senin (10/2/2025).
Baca Juga:
Kejadian tersebut dialami salah seorang wartawan awak media lokal terbitan Medan bernama Dedi saat meliput persidangan perkara penggelapan uang Rp8,6 miliar di PT Bank Mega di ruang Cakra IV Pengadilan Negeri Medan yang diketuai majelis hakim Joko Widodo dengan agenda pemeriksaan saksi.
Meski terlebih dahulu sudah meminta izin kepada Panitera Pengganti (PP), Simon Sembiring sebagaimana biasanya, Dedi yang ketika itu bersiap memotret persidangan mendadak menghentikan tugasnya karena ketukan palu keras dari hakim Joko Widodo yang seolah "risih" dengan kehadiran wartawan.
"Izin dulu kalau mau foto," ketus hakim Joko Widodo dengan raut wajah dan tatapan penuh emosi.
Mendengar hal itu Dedi pun menjelaskan bahwa dirinya sedang bertugas mengabadikan momen sidang sebagai seorang jurnalis. Namun, hal tersebut tak diterima oleh Joko Widodo yang lalu tidak mengizinkan awak media mengambil foto saat persidangan berlangsung.
"Iya, mau wartawan, hantu, atau malaikat tetap harus izin. Ini sidang ada aturannya, kalau mau foto izin dulu sebelum dibuka persidangan," ujar Joko Widodo dengan nada keras meski Dedi telah menyampaikan izin sebelumnya.
Terpisah saat dikonfirmasi mengenai kejadian tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Medan, Jon Sarman Saragih, mengatakan bahwa dirinya akan mengingatkan para jajarannya supaya memahami Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik.
"Terima kasih, kami telah diingatkan. Nanti saya ingatkan lagi tentang keterbukaan informasi publik dan sidang terbuka untuk umum untuk seluruh warga PN Medan. Ada info perlu komunikasi dengan humas, ya," jawabnya melalui pesan.
Sebagaimana diketahui berkaitan dalam perkara tersebut, terdakwa Yenny yang merupakan supervisor diduga terlibat melakukan tindak pidana penggelapan dana yang membuat Bank Mega mengalami kerugian sebesar Rp8,6 miliar.
Terdakwa Yenny melakukan penggelapan dengan cara memanipulasi transaksi pada Mei dan Juni 2024. Uang yang digelapkan tersebut digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya dengan menyalahgunakan kewenangannya dalam mengelola dana perusahaan.
Yenny menginstruksikan PT Kejar untuk mengirimkan uang sebesar Rp360 juta yang seharusnya digunakan untuk transaksi antar bank. Namun, transaksi itu tidak disertai dengan tanda terima resmi sesuai prosedur.
Uang tersebut pun kemudian diterima Maria Ladys selaku Kepala Teller Bank Artha Graha Cabang Medan Pemuda. Selanjutnya pada 22 Mei 2024, Yenny kembali menginstruksikan pengiriman uang sebesar Rp250 juta yang seharusnya digunakan untuk transaksi yang sah.
Namun, alih-alih menggunakan dana tersebut untuk kepentingan bank, Yenny malah mentransfernya ke rekening Jimmy Tantriyadi yang merupakan anaknya dan kemudian mengembalikannya melalui Allo Bank tanpa prosedur yang jelas.
Di hari yang sama, Yenny mengintruksikan PT Kejar untuk mengirimkan uang sebesar Rp350 juta ke Bank Danamon Cabang Medan, akan tetapi laporan terkait transaksi ini tidak diserahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kemudian, terdakwa melakukan pengalihan dana perusahaan ke rekening pribadi tanpa adanya izin. Perbuatan itu dilakukannya untuk kepentingan pribadi termasuk berinvestasi dalam bisnis online hingga trading kripto.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa dengan pasal berlapis oleh JPU. Dakwaan alternatif pertama melakukan tindak pidana penggelapan dan dakwaan alternatif kedua melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dakwaan alternatif kesatu yang dimaksud, yaitu Pasal 374 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan, dakwaan alternatif kedua ialah Pasal 3 Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU. (**)