Potensi Defisit BPJS Kesehatan: Kenaikan Iuran Jadi Solusi?
Baca Juga:
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, kondisi ini diperkirakan akan mencapai titik kritis pada tahun 2026 jika tidak ada penyesuaian. "Potensi gagal bayar 2026, makanya 2025 akan disesuaikan," ujar Ali Ghufron dalam keterangan resminya.
Kesenjangan antara besaran iuran yang diterima BPJS Kesehatan dan pengeluaran untuk biaya layanan kesehatan bagi peserta menjadi alasan utama ancaman defisit. Salah satu faktor yang memicu ini adalah jumlah peserta kelas 3 yang mencapai hampir 70 persen.
Sementara itu menurut Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby, besaran iuran peserta kelas 3 yang rendah menyebabkan kontribusi yang tidak sebanding dengan kebutuhan biaya pelayanan kesehatan.
Selain itu, upah peserta JKN kelas 3 yang cenderung stagnan membuat kemampuan membayar iuran tidak mampu menutupi peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang terus terjadi. Ditambah lagi, banyak pemerintah daerah yang menunggak pembayaran premi dalam jumlah besar, sehingga menambah beban BPJS Kesehatan.
Mahlil juga menyebutkan bahwa meningkatnya kasus penyakit kronis di masyarakat mempengaruhi tingginya pengeluaran BPJS Kesehatan untuk biaya pelayanan kesehatan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan menjadi salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan untuk menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Langkah ini diharapkan dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran BPJS Kesehatan dalam jangka panjang.
"Jika kita tidak mengambil kebijakan apapun, maka pada 2025 atau 2026, aset BPJS Kesehatan bisa saja negatif," ungkap Mahlil.
Demi menghindari ancaman defisit, BPJS Kesehatan juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat. Dengan kolaborasi yang kuat, diharapkan program JKN dapat terus berjalan tanpa kendala, memberikan jaminan kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.