Meutya: DPR Tak Pernah Mengecilkan Peran Pers
Kitakini.news -Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tak pernah mengecilkan peran Pers. Sampai saat ini hubungan antara Komisi I dengan Dewan Pers selalu sinergi dan saling melengkapi.
Baca Juga:
"Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I untuk mengecilkan peran Pers. Hubungan selama ini dengan mitra Komisi I yaitu Dewan Pers sejak Prof Bagir, Prof Nuh, dan Alm Prof Azyumardi adalah hubungan yang sinergis dan saling melengkapi termasuk dalam lahirnyaPublisher Rights," tegas Ketua Komisi I DPR-RI, Meutya Hafid di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Meutya, keberlangsungan media yang sehat adalah hal yang penting. Hal tersebut ia sampakan menyusul ramainya jagad media terkait sejumlah pasal dalam drafrevisi UU Penyiaran.
Dijelaskannnya, bahwa saat ini belum ada naskah revisi UU Penyiaran yang resmi. Sehingga, yang saat ini beredar di masyarakat kemungkinan adalah draf RUU dalam beberapa versi. Maka dari itu, RUU ini masih sangat dinamis.
Namun Meutya mengakui bahwa penulisan draf tersebut belum sempurna dan cenderung multitafsir. Oleh karena itu, pihaknya membuka ruang seluas-luasnya bagi masukan dari publik.
"Tahapan draf revisi UU penyiaran saat ini masih di Badan Legislasi, yang artinya belum ada pembahasan dengan pemerintah. Komisi I membuka ruang seluas-luasnya untuk berbagai masukan dari masyarakat dan akan diumumkan ke publik secara resmi," imbuh Meutya yang juga pernah menjadi Jurnalis ini.
Lebih lanjut Meutya menerangkan, pihaknya telah menggelar rapat internal Rabu (15/5/2024). Hasil dari rapat tersebut menyepakati bahwa Panja Penyiaran DPR akan mempelajari lagi masukan dari masyarakat terkait revisi UU Penyiaran.
"Kita berkomitmen untuk terus membuka ruang luas bagi berbagai masukan, mendukung diskusi dan diskursus untuk revisi UU penyiaran sebagai bahan masukan," tandasnya.
Seperti diketahui, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran saat ini memang menjadi kontroversi dikalangan masyarakat. Banyak pihak yang khawatir revisi ini akan mengancam kebebasan jurnalis dan ruang digital.
Draf
revisi UU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 yang berisikan 14 BAB dan total 149
pasal, mendapat sorotan khusus pada beberapa pasal yang dianggap bermasalah.
Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c, misalnya, dikritik karena dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers.
Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, yang selama ini merupakan tugas Dewan Pers sesuai dengan Undang-Undang Pers.(**)