Polemik Program Sastra Masuk Kurikulum, Nadiem Makarim Diminta Jangan Kebablasan dan Ugal-Ugalan
Kitakini.news -Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim diminta agar jangan kebablasan dan ugal-ugalan memimpin maupun mengelola kementerian yang dipimpinnya.
Baca Juga:
Untuk diketahui, Program Sastra Masuk Kurikulum yang dikeluarkan Kemendikbudristek menyodorkan deretan rekomendasi buku sastra kalangan SD sampai SMA, namun berujung melahirkan kegaduhan.
Diantara ratusan buku yang direkomendasikan oleh Kemendikbudristek, sebagian berisi muatan sadis, porno, bahkan penyimpangan seksual.
Hal ini menuai protes masyarakat, Ormas, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Rekomendasi tersebut dinyatakan akan ditarik dan direvisi oleh Kemendikbudristek.
"Bukan sekali dua ada kegaduhan keluar dari Kemendikbudristek. Mengeluarkan kebijakan atau program yang mengundang kontroversi sampai banyak dikritik dan diprotes, baru berhenti atau direvisi. Kalau ibarat sopir, Mas Menteri ini jadi seperti sopir ugal-ugalan. Suka kebablasan. Sampai bolak-balik kena tilang," beber Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR-RI) Ledia Hanafia Amaliah di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Hal ini disampaikan Demikian disampaikan Ledia merespon Kemendikbudristek yang meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum, Senin (20/5/2024) yang mendapat kritik keras sejumlah organisasi kemasyarakatan.
"Saya mencermati panduan rekomendasi Buku Sastra ini satu demi satu dan merasa muak melihat sebagian isinya. Sungguh tidak habis pikir bagaimana muatan buku yang menggunakan diksi-diksi vulgar terkait kesadisan, seksual, dan penyimpangan seksual bisa dijadikan bagian dari buku pendidikan yang akan dikonsumsi anak sekolah. Kepala BSKAP, Mas Nino dan Mas Menteri sendiri coba ambil buku rekomendasi yang berdiksi vulgar itu lalu bacakan kepada anaknya. Tegakah?" ketusnya.
Ledia juga mengingatkan bahwa karya sastra meskipun merupakan sebuah refleksi
imajinatif penulis yang berangkat dari imajinasi bebas maupun potret masyarakat
perlu memiliki nilai rasa keindahan dan menjunjung norma.
"Tidak
semata ungkapan ekspresi hawa nafsu sebebas-bebasnya. Setidaknya, meski
buku-buku tersebut telah beredar umum tidak berarti semua menjadi patut
dihadirkan di sekolah," cetusnya.
"Masyarakat dalam ranah umum saja telah panjang berdebat soal kepatutan
memotret dan mengungkap realitas sosial akan kekerasan, sadisme, eksploitasi
seksual, pornografi bahkan penyimpangan seksual dalam muatan karya sastra. Tak
perlu pula kita membawa muatan sadisme, eksploitasi seksual, pornografi bahkan
penyimpangan seksual ini secara sengaja pada anak sekolah," tegasnya.
Masih kata Ledia, sebenarnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan
Pasal 42 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2019 Pasal 11 telah
menjabarkan secara jelas syarat isi sebuah buku yang baik, diantaranya tidak
bertentangan dengan Pancasila, tidak memuat unsur pornografi, juga kekerasan.
Sayang sekali, sebagian rekomendasi Buku Sastra keluaran Kemendikbudristek
justru memuat hal itu.
"Saya ingatkan Mas Menteri dan jajarannya agar selalu patuh pada Undang-undang,
selaras dengan nilai-nilai Pancasila, juga ingat pada tujuan pendidikan
nasional. Sehingga setiap kali mau mengeluarkan kebijakan, program atau produk
lakukan dulu analisa mendalam dengan mengacu tiga hal tersebut, apakah sesuai
Undang-undang, selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Jangan nyerempet-nyerempet pelanggaran atau kontroversi.
Tidak mendidik," paparnya.
Sebelumnya, Kemendikbudristek berdalih Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku
Sastra bahwa buku-buku ini perlu dijadikan bahan diskusi untuk mendorong keluar
anak didik dari pemikiran hitam putih. Akan
tetapi, bagi Ledia, argumentasi ini tidak tepat bila mengacu pada pilihan
buku-buku yang bermuatan vulgar.
"Dalam keseharian, berita buruk dan baik, informasi positif dan negatif sudah menyerbu kehidupan. Fakta-fakta ini sudah cukup menjadi bahan diskusi di rumah dan di sekolah agar anak berpikir kritis, menumbuhkan empati dan menumbuhkan karakter baik yang disesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak didik. Fakta-fakta ini saja perlu dipilah orangtua dan guru dengan susah payah. Jadi tidak perlu lagilah kurang kerjaan, kurang pertimbangan dan kurang kebijaksanaan dengan menyodorkan pada anak didik imajinasi vulgar soal kekerasan, seks dan penyimpangan," pungkasnya. (**)