KSPSI AGN Sumut Kritik Kebijakan Tapera: Terkesan Terburu-buru
Kitakini.news -Kebijakan pemerintah yang ingin menerapkan kewajiban iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) kepada pekerja menjadi isu hangat yang diperbincangkan banyak pihak. Hal ini kemudian dianggap memberatkan bagi pekerja serta seakan terburu-buru.
Baca Juga:
Sekrataris
DPD KSPSI AGN Sumatera Utara (Sumut), Rio Affandi Siregar menyampaikan
kritiknya terhadap kebijakan tersebu. Pihaknya menolak hal itu untuk diterapkan
bagi pekerja. Alasannya karena memberatkan bagi mereka yang penghasilannya
masih tergolong minim sebagaimana upah minimum.
"Perlu
diingat bahwa upah minimum kabupaten/kota (UMMK) dan upah minimum provinsi (UMP)
setiap tahun, kenaikannya hanya sedikit. Contoh di Provinsi Sumut saja kenaikan
UMP hanya 3,67%. Bila dikutip dari laman resmi BP Tapera, potongan Tapera
sebesar 3% yang dibayarkan oleh pekerja dan pemberi kerja.
Artinya,
dengan persentase kenaikan UMP yang begitu kecil, kemudian pekerja/buruh dipotong
lagi 3% karena ikut iuran Tapera, maka kenakkan upah yg selalu diharapkan para
pekerja/buruh setiap tahunnya, sama saja tidak memberikan dampak positif
terhadap peningkatam taraf hidup pekerja/buruh.
Alasan
penolakan kedua kata Rio, rencana kebijakan Tapera oleh Pemerintah, menurut
meraka terkesan terburu-buru, tanpa sosialisasi atau meminta peran serta
masyarakat. Padahal Indonesia yang menganut sistem hukum positif.
"Harusnya
meminta peran serta masyarakat terhadap kebijakan publik tersebut. Mengapa kami
katakan demikian, rencana kebijakan tersebut belum didiskusikan kepada kami
serikat pekerja yang konsen terhadap isu-isu ketenagakerjaan," sebut Rio.
Ia
juga melihat banyak tokoh buruh yang hampir semua menolak dengan keras
kebijakan itu. Namun seakan pemerintah tidak mengindahkan suara masyarakat.
Kemudian
kata Rio, mereka belum melihat ada penjelasan yang menyeluruh, sampai sejauh
mana keuntungan bagi pekerja/buruh atas kewajiban iuran Tapera yang dipotong
dari gaji, sebagaimana halnya jaminan sosial kesehatan atau ketenagakerjaan.
"Maka
dari itu, wajar jika kami mengatakan kebijakan ini terlalu dipaksakan,"
jelasnya.
Yang
terakhir sebut Rio, pihaknya melihat ada masalah yang membuat masyarakat kurang
mempercayai pengelolan uang pekerja oleh BP Tapera. Sebab Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) pernah mendapat temuan bahwa badan ini belum mengembalikan uang
peserta sebesar Rp567 Miliar. Meskipun pada akhirnya, temuan itu
ditindaklanjuti juga.
"Intinya
itukan temuan, jadi tetap saja ada masalah di sana. Dan ini menjadi rapor merah
pada badan tersebut. Bagaimana kita bisa percaya kepada pengelola ini jika tata
kelolanya tidak baik," jelasnya.
Dari
berbagai alasan penolakan itu, Rio meminta agar pemerintah menunda kebijakan
iuran Tapera. Sebab masyarakat, khususnya pekerja/buruh belum melihat ada
untungnya bagi mereka kecuali mengurangi upah yang kenaikannya hanya sedikit.
"Ini
urusan hajat hidup orang banyak, dan kebijakan seperti ini sangat sensitif. Sedangkan
masalah klasik soal upah saja masih belum bisa memberikan jaminan kesejahteraan
bagi pekerja, ditambah lagi pemotongan seperti ini. Tentu kebijakan ini sangat
membuat hidup masyarakat semakin miris," pungkasnya.