Minggu, 08 September 2024

Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap

Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Terus Berkembang
Azzaren - Kamis, 18 Juli 2024 13:00 WIB
Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap
Teks foto : Psikolog Pendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant, Kiki Fatmala Sari. (Ade)

Kitakini.news - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menyebut saat ini sudah ada sekitar 40.000 sekolah Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) yang merupakan penugasan wajib untuk menyediakan minimal satu sekolah inklusi tingkat menengah atas per kabupaten/kota, serta satu sekolah inklusi tingkat dasar dan satu sekolah inklusi tingkat menengah pertama per kecamatan.

Baca Juga:

Namun, perkembangan secara kuantitas ini tidak beriringan dengan kesiapan sekolah dalam menjalankan program tersebut.

Penerapan pendidikan inklusif sejauh ini masih terbatas pada jumlah sekolah yang tersedia untuk menerima peserta didik ABK.

Tetapi, kesiapan sekolah dalam penyelenggaraannya, terutama kesiapan guru dan kapabilitasnya untuk mendidik ABK masih belum maksimal.

Makanya, kebanyakan sekolah dinilai masih belum siap menerapkan pendidikan inklusif sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan tersebut.

Psikolog Pendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant, Kiki Fatmala Sari, menyebutkan salah satu permasalahan adalah terbatasnya guru pembimbing khusus (GPK).

"Dalam pendidikan inklusif ini, ABK didampingi oleh guru pendamping khusus. GPK inilah yang akan membantu anak-anak ini untuk menjalani program pendidikan di sekolahnya. Namun, saat ini untuk keberadaan GPK itu sangat terbatas," ungkap Kiki, Kamis (18/7/2024).

Dijelaskannya, dalam pendidikan inklusif, peserta didik ABK ini digabung dengan anak-anak lainnya di sekolah reguler.

Ini bertujuan agar anak-anak dengan kelainan baik fisik, emosional, mental, intelektual, maupun sosial, serta anak-anak dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa itu bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak pada umumnya.

"Namun, dalam menjalani pendidikan di sekolah reguler tersebut, peserta didik ABK ini harus didampingi oleh GPK yang memang ditugaskan secara khusus untuk mendampingi mereka," ujar Kiki.

Tapi, kenyataannya tak semua peserta didik ABK di sekolah inklusi memiliki GPK. "Akhirnya mereka hanya mengikuti aktivitas yang sama seperti anak reguler, tanpa mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki berdasarkan karakteristik kekhususannya.

"GPK itu sendiri tugasnya membimbing ABK sesuai dengan programnya. ABK ini kan memiliki karakteristik sendiri, memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri," lanjut perempuan yang juga menjabat Koordinator Program Inklusi di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) Medan itu.

Berdasarkan data Kemendikbudristek pada Desember 2023, dari sebanyak 40.164 satuan pendidikan di Indonesia yang memiliki peserta didik ABK, hanya 5.956 sekolah, atau sekitar 14,83 persen saja yang memiliki GPK.

Sementara di Sumatera Utara sendiri, saat ini sudah ada 1.767 sekolah SPPPI dengan peserta didik ABK, dimana sebanyak 237 sekolah diantaranya ada di Kota Medan, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

Kiki menyebutkan GPK harus bisa memahami kurikulum, karena perlu dilakukan penyesuaian pada kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan inklusif.

Ini dilakukan karena dengan keterbatasannya, sebagian besar peserta didik ABK tidak akan bisa mengikuti kurikulum reguler.

Sehingga GPK harus mampu merancang program pembelajaran khusus, disebut Individualized Education Program (IEP) atau Program Pendidikan Individual (PPI).

"Sebagian besar sekolah yang memiliki GPK, mereka itu belum memahami tentang adanya program pendidikan individual. Jadi, selama ini beberapa sekolah yang saya perhatikan, GPK hanya mendampingi anak tanpa dia memiliki program khusus untuk anak itu," kata alumni Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara itu lagi menambahkan.

Padahal, seharusnya GPK memiliki program individual untuk anak agar anak ini bisa mencapai hal yang belum mampu dilakukannya dan mengoptimalkan kemampuan anak.

"Anak yang special needs, anak yang disabilitas, atau ABK, mereka berhak untuk sekolah di sekolah mana saja. Sebagian masyarakat juga berpikir, ketika dia memiliki ABK, berpikiran bahwa mereka sekolah di SLB (sekolah luar biasa). Padahal, alternatif juga bisa di sekolah inklusi, terutama untuk anak yang tidak memiliki masalah intelektual yang berat," pungkas Kiki mengingatkan.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: M Iqbal
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru