Tak Cerminkan Nilai Sejarah, Tradisi Panjat Pinang Sudah Selayaknya Diganti
Kitakini.news -Sekretaris Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut), Rudi Alfahri Rangkuti mengaku prihatin dengan masih terus berlangsungnya tradisi permainan Panjat Pinang (Pucang) yang setiap tahun digelar memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia di hampir seluruh daerah Indonesia.
Baca Juga:
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini berpendapat, permainan penuh risiko itu sudah selayaknya diganti dengan kegiatan lain, karena terlihat tidak mencerminkan niai sejarah.
"Saya kira sudah selayaknya diganti, karena permainan yang sudah ada sejak zaman Belanda itu tidak mencerminkan nilai-nilai sejarah perjuangan," cetus Rudi kepada wartawan diruang kerjanya gedung dewan Jalan Imam Bonjol Medan, Jumat (16/8/2024).
Hal ini disampaikan Rudi Alfahri merespon tradisi Panjat Pinang yang masih berlangsung hingga kini, dengan berbagai hadiah yang digantung diujung batang.
Para peserta harus berjuang secara tim memanjat batang Pinang yang sudah dikuliti dan dilumuri cairan pelicin itu.
Dari literatur sejarah, Rudi melihat bahwa Panjat Pinang mulai dikenal pada saat Belanda menduduki Indonesia, persisnya sekitar tahun 1930, ketika para kolonial menggelar hiburan, saat mengadakan hajatan, seperti pernikahan, kenaikan jabatan, atau pesta ulang tahun.
"Kita lihat dari kegiatan tersebut, masyarakat Indonesia yang ikut jadi peserta berlomba-lomba untuk memanjat dan meraih hadiah yang disediakan, sementara penjajah Belanda hanya menonton pertunjukan yang keras dan berbahaya itu sambil tertawa pula," bebernya.
TIdak sedikit kemudian seiring berjalannya waktu bahwa Panjat Pinang yang dilakukan perserta lebih dari satu orang itu, bukanlah tontonan menarik bahkan terkesan masih melekat unsur "penjajahannya".
"Saya lihat seperti itu tidak ada nilai sejarahnya, yang ada lucu-lucuan, seru-seruan ketika seorang pemanjat, yang didorong kawan-kawannya dari bawah dan disoraki penonton, agar terdongkrak ke atas hingga ke ujung batang," paparnya.
Dari gerakannya, Rudi mengilustrasikan bahwa saling injak, atau menginjak tubuh peserta tak ubahnya sebagai "penjajahan", seperti yang dilakukan Belanda tahun 1945. Kita tidak melihat sisi historisnya, kecuali buang tenaga, dan energi untuk mendapatkan berbagai hadiah," cetusnya.
Bahkan Rudi menerima laporan tradisi panjat pinang ini kerap mengandung bahaya, dengan berbagai insiden peserta yang mengalami luka bahkan meninggal dunia akibat terjatuh dari atas saat hendak menggapai hadiah.
Karenanya, Rudi berpendapat sudah selayaknya panjat pinang diganti dengan permainan yang lebih atraktif.
"Banyak sekali saya kira, kalau mau seru-seruan, yang tidak berisiko tapi menarik perhatian dan mengesankan nilai patriotisme dan heroisme," tukasnya.
Jenis-jenis permainan pun sesungguhnya bisa muncul dari inovasi generasi muda sebagai penerus bangsa untuk menuangkan ide agar bentuk permainan atau kegiatan menimbulkan kesan historis.
"Pokoknya jangan Panjat Pinang la, masa kita sudah merdeka lebih 79 tahun, permainannya itu-itu saja. Heran kita lihatnya, kok mewariskan tradisi permainan yang berbahaya, dan warisan Belanda pula, " pungkasnya. (**)