Kepala Inspektorat Deliserdang Singgung Kode Etik Jurnalistik: Main Todong
Kitakini.news -Kepala Inspektorat Deli Serdang, Edwin Nasution mengklarifikasi terkait video ricuh antara dirinya dan oknum yang mengaku wartawan di depan kantornya belum lama ini. Ia menyebut bahwa yang bersangkutan seakan main todong kamera ke arahnya.
Baca Juga:
"Saya mohon maaf kepada teman-teman wartawan yang
telah bekerja profesional selama ini. Tetapi saya merasa kemarin itu, menurut
saya cara oknum wartawan kepada saya, main todong tanpa memulai pembicaraan
yang baik," ujar Edwin menanggapi video dan berita yang menyudutkan
dirinya, Kamis (17/10/2024).
Menurut Edwin, cara seperti itu sangat tak lazim serta
menunjukkan sikap arogan dan tendensius. Mengingat apa yang dimaksudkan oknum
wartawan itu, bukan menyangkut soal dirinya. Meskipun begitu, secara organisasi
sikap anggotanya tetap harus dievaluasi dan diberikan peringatan.
"Kita mengakui memang ada disebutkan anggota kita
yang diduga pada saat berfoto, berpose dengan mengacungkan jari tertentu dan
itu memancing komentar publik. Terkait dugaan itu, pegawai tersebut udah kita
panggil untuk diproses, diperiksa dan dijatuhi hukuman disiplin, serta yang
bersangkutan juga sudah dipanggil Bawaslu Deliserdang" ungkapnya.
Namun Edwin menyayangkan sikap oknum yang menurutnya
wartawan itu, menodongkan kamera ke arah wajahnya. Sebab, biasanya dalam hal
konfirmasi, ada pembicaraan offtherecord,
guna menghindari hal-hal tidak diinginkan.
"Saya beberapa kali bertemu rekan rekan wartawan,
terkait hal tertentu. Caranya, mereka datang ke saya, bicara baik-baik,
sampaikan maksud baik-baik. Saya paham ini masalah publik, tetapi caranya tidak
bisa arogan juga lah, ayo kita bersahabat untuk membangun Deliserdang dan saya
siap berdialog dengan rekan-rekan wartawan" katanya.
Menanggapi masalah ini, Pengamat Sosial dan Informasi
Publik, M Iqbal menilai bahwa sikap Kepala Inspektorat Deliserdang terkesan
sedikit kesal dengan cara oknum yang merekam secara langsung dirinya, seolah
interogasi itu dilakukan kepada tersangka korupsi, apalagi dari video yang
beradar, Edwin Nasution seperti sudah kenal dekat dengan wartawan.
"Dari gesturnya yang menggaruk-garuk kepala dan
tersenyum sambil diwawancara, menunjukkan bahwa pejabat itu sejatinya sudah kenal
dengan wartawan yang dihadapinya. Yang kurang pas, mengapa setelah beberapa
saat, baru pejabat itu sadar ada yang merekam, dan dia pertanyakan apakah sudah
ada minta izin untuk membuat video. Mungkin maksudnya, di awal tidak ada
wawancara video. Inikan seperti ada yang tidak cocok, jadi perlu penjelasan
yang lengkap," ujarnya.
Dirinya berharap para pejabat untuk mempertimbangkan
segala sesuatu baik tindakan maupun ucapan di hadapan publik, sebelum dilakukan
dan diucapkan. Sebab apapun yang keluar dari seorang pejabat, selama masih
menyangkut tugas dan fungsi publiknya, itu menjadi hak publik.
"Ya mungkin ini menjadi pelajaran bagi para
pejabat untuk lebih bijak dalam menghadapi awak media. Apalagi yang dipertanyakan
juga soal aparatur negara yang terpublikasi. Walaupun kita belum tahu, apakah
foto itu dipublikasikan sengaja atau memang dicari-cari dokumen dan bocor ke
ranah publik. Apalagi ada yang mengaitkan dengan persoalan keberpihakan, jadi
sebaiknya kita beri waktu Inspektorat membina anggotanya", katanya.
Dalam beberapa pengalaman, Iqbal menyebutkan bahwa
untuk sesi foto, terutama soal mengacungkan jari tertentu di masa Pemilu atau
Pilkada, biasanya langsung diberikan peringatan oleh pimpinan. Jika terlanjur,
diminta agar foto tidak dipublikasikan.
"Kalau sudah tersebar ke banyak orang, wajar saja
menjadi incaran wartawan untuk meminta klarifikasi dari yang bersangkutan, atau
paling sederhana itu ke pimpinannya. Hanya saja, untuk tindaklanjut oleh
wartawan, biasanya konfirmasi langsung dan minta persetujuan dari narasumber,
khususnya untuk video. Kalau memang tak mau menjawab, ya di berita tinggal
dijelaskan bahwa narasumber tak bersedia berkomentar," jelasnya.
Sedangkan terkait tudingan arogan, Iqbal mengatakan
ada unsur subjektif antara Kepala Inspektorat dan oknum wartawan, yang
dimungkinkan bahwa keduanya sudah saling mengenal. Sementara soal isu tudigan
memihak kepada Paslon tertentu di Pilkada Deliserdang, ia menegaskan bahwa
dalam kode etik Jurnalistik, wartawan Indonesia harus independen.
"Secara psikologi, keberpihakan dimanapun akan
mempengaruhi sikap dan mengganggu profesionalitas bekerja. Kode etik
jurnalistik pertama itu, adalah independen. Dan jangan lupa, ada istilah offtherecord sebelum ada putusan yang
bersifat hukum tetap atau yang berpotensi menyangkut nama baik seseorang atau
ancaman lain. Ya dalam sesi wawancara juga biasanya ada itu kan, (pejabat) silakan
gunakan itu jika diperlukan," sebutnya.
Dari kejadian itu, Iqbal berharap para pejabat lebih
tenang menghadapi wartawan dan tak perlu takut. Namun bukan berarti dianggap
tidak penting. Karena menurutnya, wartawan profesional itu, selalu mencari
fakta dan kebenaran, bukan mencari-cari kesalahan. Serta menjaga etika dan
profesionalitas dalam bekerja.