Ini 5 Perlindungan Pemerintah Kepada Pekerja Dalam Perppu Cipta Kerja
Kitakini.news – Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah
diterbitkan, merupakan bentuk komitmen pemerintah memberikan perlindungan bagi
tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan
dinamika ketenagakerjaan.
Baca Juga:
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menjelaskan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam pada dasarnya merupakan penyempuraan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi
ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2022 sejatinya
merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan
ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” papar Ida seperti dilansir dari laman
resmi Setkab.go.id, Sabtu (7/1/2023).
Adapun substansi ketenagakerjaan
yang disempurnakan dalam Perppu ini antara lain Pertama, ketentuan alih daya (outsourcing).
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat
dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka
tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan Outsourcing.
Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur
melalui peraturan pemerintah,” tegasnya.
Kedua, lanjut Ida, penyempurnaan
dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan
mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula
penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP).
Masih kata Menaker, bahwa pada Perppu
ini ditegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
serta dapat menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) apabila hasil penghitungan UMK
lebih tinggi daripada UMP.
“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam
Perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila
nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” cetusnya.
Ketiga, sambung Ida, penegasan
kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh
yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan
terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam
pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar
penuh, serta terkait manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Lebih lanjut Menaker menjelaskan,
perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap
aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah dibeberapa daerah antara lain
Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta.
Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut
pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah.
Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja,
pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” pungkasnya.
Redaksi