Distorsi Politik dan Ekonomi Dalam Sengkarut Pembangunan Nasional
Kitakini.news - Ibarat dua sisi mata koin, politik dan ekonomi tidak dapat dipisahkan. Seiring perjalanan dari waktu ke waktu, kajian politik-ekonomi mengalami perkembangan dan tantangan yang kompleks.
Baca Juga:
Pada khazanah pengetahuan, pembahasan politik dan ekonomi telah menjadi suatu disiplin ilmu, yaitu kajian ekonomi politik. Sebuah studi multi dimensi membahas politik dan ekonomi dalam ruang ilmu sosial yang lebih luas, mencakup sosiologi, antropologi, komunikasi, geografi, sejarah dan budaya.
Kajian Ilmu ekonomi politik, diartikan sebagai ilmu yang mempelajari proses-proses sosial serta institusional, yang memungkinkan kelompok-kelompok ekonomi dan politik mempengaruhi alokasi sumber daya produktif yang persediaannya terbatas dan langka.
Proses ini dilakukan sekarang atau di masa yang akan datang, baik secara khusus maupun keuntungan diri sendiri atau kelompok, maupun secara umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas (Todaro, 2006).
Dalam arti yang lebih sederhana, keterkaitan realitas politik dengan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidak dapat diartikan memiliki hubungan yang diametral, karena keduanya memiliki hubungan yang erat, antara satu dengan lainnya.
Oleh karenanya bila politik terjadi distorsi maka pada sisi ekonomi dapat terdistorsi pula. Celakanya, gejala-gejala ini menyebabkan terjadinya silang sengkarut dalam proses pembangunan nasional.
Mochtar Pabotinggi (1993), mengatakan dalam praktik komunikasi politik, 'distorsi' sebagai bahasa ideologis terdapat dua perspektif. Pertama, pandangan yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang memonopoli kelompok tertentu.
Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Penganut perspektif ini menitikberatkan tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang dikehendaki rakyat.
Sementara itu, Alan Deadorffs, dalam Glossarium of International Economics (2006), distorsi ekonomi terjadi ketika kondisi ekonomi menjadi tidak efisien. Sehingga mengganggu agen ekonomi dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan mereka sendiri.
Dinamika politik yang terjadi sebelum dan pasca pemilu 2024, ihwal pelanggaran norma etik pada Mahkamah Konstitusi (MK), dugaan pengerahan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) untuk paslon tertentu, dugaan politisasi bantuan sosial (Bansos).
Berdasarkan catatan Kompas, jumlah anggaran Bansos yang tercatat dalam APBN 2024, sebanyak Rp496 Trilyun. Naik sebanyak 12 persen lebih dari tahun 2023 serta tak berbeda jauh dari awal mula Covid-19 di 2020 sebesar Rp498 Trilyun.
Tantangan menjadi kompleks, meningkatnya rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) karena melemahnya nilai tukar Rupiah, pada Juni 2024, Rupiah menembus angka Rp16.400 per Dolar Amerika.
Ini diperparah dengan mandeknya pengentasan angka kemiskinan yang meningkat dan tingginya pengangguran karena kurangnya kesempatan kerja terutama bagi generasi fresh graduate.
Belum lagi beban pemerintah dalam meningkatnya angka impor. Impor Indonesia pada April 2024 tercatat naik sebesar 4,62 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi USD16,06 miliar berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS).
Pemerintah juga diharuskan membayar bunga utang luar negeri pada tahun berjalan sebesar hampir 15 persen dari total APBN 2024.
Sementara itu, posisi utang luar negeri pemerintah pada Februari 2024 tercatat sebesar USD194,8 miliar atau Rp3.170 triliun, tumbuh 1,3 persen yoy atau meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan 0,1 persen yoy pada bulan sebelumnya.
Bank Indonesia merilis penarikan pinjaman luar negeri, khususnya pinjaman multilateral digunakan dalam mendukung pembiayaan beberapa program dan proyek pemerintah baik jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan.
Ironisnya, bila dugaan politisasi Bansos terjadi maka pencapaian politik untuk periode lima tahun, dibayar dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun ke depan.
Terbukti, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat karena timpangnya kondisi sosial.
Sri Tua arief dalam teori dan kebijakan pembangunan (1998) mengatakan, teori ekonomi pembangunan, harus berdasarkan nasionalisme.
Kita tidak boleh terjebak dalam pengertian globalisasi di komunikasi dan ekonomi. Tidak ada satupun bentuk hubungan internasional tanpa penyedotan surplus ekonomi.
Di dalam negeri tak kalah mengerikan, berdasarkan data BPS sebanyak 10 juta penduduk pada generasi Z (rentang umur 15-24 tahun) dalam kondisi tidak bekerja.
Rendahnya permintaan tenaga kerja dan menurunnya sektor-sektor formal penyedia lapangan kerja disinyalir menyebabkan hal tersebut.
Pemerintah tidak berhasil melakukan integrasi digital di sektor industri, manufaktur, jasa hingga pertanian. Akibatnya, penawaran tenaga kerja mengalami polarisasi.
Rendahnya permintaan pada pekerjaan formal yang bersifat rutin dan mekanis, berbanding terbalik dengan tingginya angka permintaan keterampilan rendah dan keterampilan tinggi di sisi lainnya.
Wacana Indonesia Emas di tahun 2045, dengan adanya 'bonus demografi' menjadi sebuah ancaman nyata.
Hal ini kemudian diperparah dengan adanya tambahan beban bagi pekerja yang berada di kelas menengah, yaitu iuran wajib, Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang disahkan pemerintah pada Maret 2024 lalu.
Ditengah tingginya biaya hidup pekerja pada kelas menengah baik sektor formal dan informal diwajibkan menyisihkan hampir 3 persen dari total pemasukan per bulan untuk Tapera.
Pemerintah juga mengobral izin tambang terhadap ormas keagamaan tersebut diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hal ini rawan memunculkan konflik agraria yang menyebabkan konflik horizontal, menambah kelas baru pada struktur ekonomi, memukul kepercayaan investor, di samping akibat kerusakan ekosistem dan lingkungan dalam skala besar.
Ini diperparah dengan mandeknya pengentasan angka kemiskinan dan tingginya tingkat pengangguran karena kurangnya kesempatan kerja terutama bagi generasi fresh graduate.
Pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang masih tanda tanya ditandai dengan mundurnya dua petinggi Otorita IKN.
Belum lagi, bagi-bagi jatah jabatan Komisaris BUMN yang cenderung tidak berimplikasi positif pada tujuan BUMN dalam mensejahterakan rakyat adalah potret dari silang sengkarut pembangunan nasional kita saat ini.(**)
Penulis:
Fatah Baginda Gorby Siregar, Staf Ahli DPRD Sumatera Utara dan juga Akademisi