Tanggungjawab Negara atas Medis Untuk Pemenuhan Hak Perempuan Korban Pemerkosaan
Kitakini.news -Aborsi kini menjadi isu kesehatan yang mendapatkan perhatian besar di Indonesia. Sebenarnya, aborsi bukanlah hal yang baru secara hukum di negara ini, karena praktik ini telah ada dalam masyarakat sejak dahulu kala hingga sekarang. Meskipun aborsi sudah lama dikenal, pelaksanaannya tetap menimbulkan kontroversi dan perdebatan, bahkan dalam kasus-kasus seperti korban pemerkosaan.
Baca Juga:
Komnas Perempuan mencatat, terdapat 103 kasus kehamilan akibat pemerkosaan yang dilaporkan langsung dari 2018 hingga 2023. Namun hampir semua kasus tersebut tidak mendapatkan akses ke aborsi yang aman. Dalam konteks ini, negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut terpenuhi dengan menyediakan layanan kesehatan yang aman dan berkualitas.
Salah satu aspek penting dari hak reproduksi ini adalah akses terhadap layanan aborsi yang aman, khususnya untuk korban pemerkosaan yang telah sesuai dengan perundang-undangan. Selain itu, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa pemenuhan hak mengenai akses aborsi yang aman ini masih jauh dari ideal.
Banyak korban pemerkosaan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses ke layanan aborsi yang aman, baik karena keterbatasan fasilitas medis yang memadai, kurangnya tenaga medis terlatih, maupun stigma sosial yang menghambat pelayanan kesehatan yang sesuai. Ketidakmampuan negara dalam menyediakan layanan yang memadai dan aman mengakibatkan risiko besar bagi korban, termasuk kesehatan fisik dan mental mereka, serta potensi konflik hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimana tanggung jawab negara dalam penyediaan layanan medis yang memenuhi hak perempuan, terutama bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan? tantangan ataupun hambatan serta upaya negara dalam pemenuhan hak perempuan tersebut? Pertanyaan ini yang menjadi alasan penulis tertarik untuk membahas opini tentang tanggung jawab negara atas medis untuk pemenuhan hak perempuan korban pemerkosaan.
Tanggung Jawab dan Kebijakan Negara Dalam Pemenuhan Hak PerempuanAborsi yang aman diperbolehkan apabila dilakukan berdasarkan indikasi medis dan hanya oleh tim medis di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah. Dengan kata lain, jika aborsi dilakukan untuk alasan medis yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan ibu, hal tersebut harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk.
Dokter, sebagai tenaga medis profesional, memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat tentang keamanan dan legalitas aborsi di Indonesia kepada pasien. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam memenuhi hak perempuan korban pemerkosaan. Selain itu, tenaga medis juga berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mereka menjalankan tugas sesuai dengan standar profesi, pelayanan, prosedur operasional, dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan pasien.
Hal ini sesuai dengan Pasal 193 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa "Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit". Namun, saat ini pemerintah belum menyediakan fasilitas untuk aborsi yang aman, dan banyak sistem yang memaksa korban pemerkosaan untuk melanjutkan kehamilan mereka.
Layanan aborsi yang aman masih sulit diakses oleh perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, meskipun Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur praktik aborsi aman dalam kasus pemerkosaan. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur bahwa aborsi aman dapat dilakukan dalam keadaan darurat medis atau kehamilan akibat pemerkosaan, dengan batas usia kehamilan maksimal 40 hari atau sekitar 6 minggu.
Akan tetapi, aturan ini seringkali menjadi hambatan, karena banyak korban baru menyadari kehamilan mereka setelah lebih dari 40 hari, sehingga beberapa fasilitas kesehatan enggan melakukan aborsi karena bertentangan dengan hukum.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab tidak hanya dalam merancang undangundang baru, tetapi juga dalam memastikan implementasinya secara efektif. Keberadaan undang-undang yang baik tidak akan berarti jika hak-hak korban tidak dapat dipenuhi di dunia nyata. Tantangan Negara Dalam Pemenuhan Hak Perempuan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi adalah hak dasar setiap individu yang harus dipenuhi, dan ini juga merupakan hak penting bagi perempuan.
Perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dan mengalami kehamilan sering kali menghadapi situasi yang sangat berat, karena selain mengalami luka fisik, mereka juga menanggung trauma psikologis. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, telah mengatur mengenai penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang aman untuk masyarakat, termasuk aborsi yang aman bagi korban pemerkosaan.
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Namun, hingga kini, negara belum berhasil mengimplementasikan layanan aborsi yang legal dan aman untuk kehamilan akibat pemerkosaan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
Kendala utama adalah kurangnya tenaga medis dan fasilitas layanan resmi serta ketiadaan pelayanan aborsi yang aman untuk korban pemerkosaan yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan. Akibatnya, akses ke layanan aborsi yang aman di fasilitas umum menjadi sangat terbatas. Ketiadaan tenaga medis dan fasilitas resmi, serta layanan aborsi yang aman untuk korban pemerkosaan, disebabkan oleh kurangnya komitmen dalam penyediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi serta adanya stigma yang kuat terhadap aborsi aman. Stigma sosial dan norma budaya konservatif juga berperan dalam menghambat pemenuhan hak aborsi aman untuk korban pemerkosaan.
Di Indonesia sendiri, masyarakat sering kali memandang negatif terhadap praktik aborsi aman, meskipun dalam hal kasus pemerkosaan. Stigma ini tidak hanya berlaku untuk korban, tetapi juga berpengaruh pada keputusan dan tindakan para tenaga medis. Dampak yang paling utama berkaitan dengan hal tersebut yaitu meningkatnya kebutuhan layanan aborsi ilegal dan tidak aman bagi korban pemerkosaan.
Upaya Negara Dalam Pemenuhan Hak Perempuan Dalam upaya memenuhi hak reproduksi perempuan, Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan yang mendukung akses perempuan terhadap praktik aborsi yang aman. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi perempuan dari aborsi yang tidak aman, berkualitas rendah, dan tidak bertanggung jawab.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan terkait mengatur bahwa aborsi hanya diperbolehkan dalam dua situasi, yaitu Pertama, dalam kasus kedaruratan medis yang terdeteksi sejak awal kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, seperti penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang membuat kehidupan bayi sulit di luar kandungan; Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang berpotensi menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan aborsi aman yang diizinkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang merupakan implementasi dari Pasal 75 ayat (4) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Peraturan ini bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak kesehatan reproduksi serta menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI).
Aborsi yang tidak aman atau ilegal menyumbang sekitar 11-30 persen dari kematian ibu di Indonesia, sehingga pemerintah bertanggung jawab untuk, pertama Menyusun kebijakan mengenai upaya kesehatan reproduksi. Kedua menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau, serta obat dan alat kesehatan yang mendukung pelayanan kesehatan reproduksi;
Ketiga, melakukan pembinaan dan evaluasi manajemen kesehatan reproduksi yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Keempat, mengelola sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans kesehatan reproduksi di tingkat nasional dan antar provinsi.
Dan kelima melakukan koordinasi dan advokasi untuk dukungan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan untuk pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi.
Hal-hal tersebut seharusnya menjadi acuan utama pemerintah dalam mengevaluasi penyelenggaraan aborsi aman di Indonesia. Namun, berdasarkan data dari Penelitian ICJR menunjukkan bahwa tidak ada panduan pelatihan resmi dari Kementerian Kesehatan maupun fasilitas kesehatan yang ditunjuk untuk menyediakan aborsi aman. Fakta-fakta ini jelas menunjukkan kurangnya keseriusan dari pemerintah dan pihak terkait dalam memenuhi hak perempuan untuk mendapatkan aborsi yang aman. Penutup Ketersediaan tenaga medis, fasilitas resmi, dan layanan aborsi yang aman untuk korban pemerkosaan adalah bagian penting dari hak perempuan.
Komnas Perempuan mencatat dari tahun 2018 hingga 2023 terdapat kasus kehamilan akibat perkosaan yang dilaporkan langsung ke mereka, namun hampir semua kasus tersebut tidak mendapatkan akses ke aborsi yang aman. Situasi ini perlu menjadi fokus evaluasi pemerintah, karena ketidaktersediaan layanan aborsi yang aman dapat memaksa korban untuk mencari praktik aborsi yang tidak aman, yang sangat membahayakan mereka.
Oleh karena itu, opini ini disusun untuk mendorong pemerintah agar mengevaluasi dan menindaklanjuti implementasi peraturan yang telah dibuat. Kami meminta pemerintah dan semua pihak terkait untuk dapat bersinergi dalam menyediakan layanan aborsi yang aman dan transparan, serta memastikan informasi mengenai layanan tersebut dapat diakses dengan baik dikarenakan aborsi yang tidak aman dapat berisiko membahayakan nyawa korban atau menyebabkan konflik hukum terkait aborsi tersebut. (**)
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Ravi Fadliyansyah, Ade Venny Darma Putri, dan Ristya Chayani