Moral dan Negara
DItahun 2000-an, beberapa pengguna jalan raya, entah itu karena pekerjaan atau hal lain, orang masih merasa aman berlalu-lalang beranjak pulang menggunakan sepeda motor ataupun bersepeda, meski sudah tidak pada jam-jam aktivitas normal, atau bahkan sudah dinihari. Namun sekarang, di beberapa kota besar, termasuk di Kota Medan, sudah tidak merasa aman lagi ketiga sudah masuk waktu malam hari, apalagi sudah dinihari, situasi serasa semakin mencekam.
Baca Juga:
Mungkin ini yang disebut para guru bangsa, tokoh-tokoh politik dan kemanusiaan dengan sebutan Degradasi Moral.
Nah, persoalanya, semenjak kapan terjadi degradasi moral ini?
Tidak sedikit juga yang menyebutkan bahwa situasi ini terjadi semenjak nilai-nilai Pancasila tidak lagi ditanamkan sejak dini, baik di tingkat sekolah, apalagi di perguruan tinggi. Berbeda pada masa sebelum tahun 2000-an, mata pelajaran Pendidikan moral Pancasila atau sejenisnya, masih mejadi mata ajar wajib. Begitu juga ditingkat perguruan tinggi, sebelum memasuki bangku kuliah, harus mengikuti penataran pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila atau P4, sehingga perlahan-lahan nilai-nilai Pancasila semakin redup ditelan waktu.
Proses indoktrinisasi pemahaman Pancasila melalui mata pelajaran wajib di sekolah mulai dari tingkat SD, SMP maupun SMA seperti harus diterapkan Kembali. Meskipun indoktrinisasi ini, tidak menjadi jaminan mutlak seseorang itu bermoral, karena pada masa itu juga tidak sedikit pejabat, pejabat setingat apapun, memiliki mental dan moral yang buruk, gemar korupsi, dan lain sebagainya. Namun setidaknya, nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila itu, harus ditanamkan Kembali, dan upaya tegas kemudian dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal tidak baik terjadi.
Regulasi tentang berbagai aturan, harus dikaji Kembali agar tidak seolah-olah untuk menegakkan hukum, tetapi pada dasarnya memberikan peluang pada segelintir orang untuk bisa melakukan tindak kejahatan, bahkan kejahatan yang terorganisir dan bahkan dalam skala besar.
Indonesia negara yang kepulauan yang sangat subur, memiliki kekayaan alam yang seharusnya dikelola negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, namun kenyataannya dikuasai oleh segelintir orang, sehingga terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Kesenjangan social yang kemudian mendapat "bumbu penyedap" oleh berbagai sajian media social, semakin menimbulkan kecemburuan. Keinginan untuk hidup sebra kecukupan, sementara peluang untuk mendapatkan pekerjaan ataupun peluang semakin sulit, bahkan tidak sedikit yang diberhentikan akibatperan mereka sudah tergantikan oeh teknologi.
Minat untuk bertani semakin minim ditambah lahan-lahan untuk bercocok tanam sudah berganti dengan perkebunan tanaman sejenis yang dikuasai oleh kongkolomerasi.
Namun jika ada kesungguhan, nilai moral dan etika bisa rirajut kembali. Ada peran agama, ada peran pendidik, ada peran negara, tinggal negara maunya seperti apa karena kesulitan besar apa yang tidak bisa diatasi oleh negara, kecuali "negara"tidak mau hadir dalam kesulitan itu, maka selesailah sudah.Ya. Selesai.
Penulis :
M. Harizal,S.H., mantan Koordinator Forsolima (Forum Solidaritas Mahasiswa) Medan