EPZA: Sidang Isbat Kurang Relevan

Kitakini.news – Sidang Isbat dalam menentukan 1
Ramadhan, 1 Syawal maupun 1 Zulhijjah oleh Kementerian Agama Republik
Indonesia, justru dinilai kurang relevan. Sebab, dari zaman Orde Lama hingga
Orde Baru, tidak pernah ada sidang Isbat dalam penetepan, awal puasa, Idul
Fitri dan Idul Adha. Dan alhamdulillah baik-baik saja ummat ini.
Baca Juga:
Pemerintah harusnya lebih bersikap netral dan
mengayomi semua ormas Islam di Indonesia. bukan terkesan berpihak pada ormas Islam
tertentu dengan alasan telah melakukan sidang Istbat.
Dalam konteks urusan menjalankan risalah agama,
sejatinya pemerintah berada di tengah menjadi payung atau pengayom terhadap
setiap ormas Islam.
Selain itu, dalam konsep Islam sudah jelas, bahwa
perbedaan merupakan rahmat, bukan petaka. Sehingga ya silahkan, karena
masing-masing punya dasar cara atau metode dalam menetapkan jadwal Sholat,
puasa dan Hari Raya. Maka dari itu, mari saling menghormati dan bukan saling
menghakimi.
Kemudian saya melihat keberagaman di Indonesia cukup
bagus, meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan dan
Sholat Idul Fitri maupun Idul Adha. Tidak ada persolan yang mendasar
ditengah-tengah masyarakat. Sebab dalam menjalankan perintah agama, ada Imam
ataupun ulama sebagai panutan ummat Islam.
Hanya saja, saya melihat masalahnya ada di sidang
Isbat yang dinilai kurang relevan. Dan solusinya menurut saya harus ada kalender
ummat Islam yang dapat diberlakukan dan bertujuan sebagai pengikat secara
bersama ummat Islam di Indonesia.
Tak hanya itu, saya juga melihat perkembangan ilmu
teknologi khususnya ilmu Astrononomi atau ilmu Falaq sudah cukup signifikan. Sehingga
mampu menjawab setiap tantangan dalam menetapkan waktu-waktu shalat, imsak,
puasa dan lain sebagainya.
Sehingga seharusnya jangan memaksakan kehendak memakai
metode Rukyatul Hilal yang kemudian mengesampingkan metode Hisab (Perhitungan).
Sementara, di alam peradaban modern saat ini, metode Hisab jauh lebih vallid
atau Sohih hasilnya ketimbang sekedar melakukan Rukyatul Hilal yang notabebe
melihat bulan dengan “mata telanjang”.
Ya, kalau di zaman tradisional ok lah. Mungkin belum
ada teknologi canggih, wajar kalau nenek moyang kita melihat bulan dengan “mata
telanjang” dipinggir pantai.
Nah, saat era teknologi seperti sekarang ini, ya tidak
relevan lagi. Misalnya kalau kondisi cuaca lagi buruk, hujan atau berkabut dan
lain sebagainya, kan bisa saja tak muncul bulan.
Selain itu, yang kurang baiknya terkait sidang Istbat
ini, bahwa pelaksanaannya kerap dilakukan minus satu hari, baik puasa ataupun
satu hari mau Hari Raya. Ini jelas terkesan dipaksakan.
Kalau mau jujur, lihat Muhammadiyah yang mampu
mengitung bulan dan tahun, bukan hanya untuk satu atau dua tahun, bahkan untuk
waktu 50 tahun kedepan pun terkait waktu shalat, puasa dan Hari Raya sudah bisa
ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Jadi sudahlah, menurut saya hentikan sidang Istbat
itu. Biarlah urusan agama menjadi domainnya para ulama dan pemimpin ormas Islam
di Indonesia. Pemerintah harusnya bersikaplah netral dengan memberikan
kesempatan dan ruang yang sama kepada ummat Islam jika memang terdapat
perbedaan-perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan/atau 1 Zulhijjah.
Sehingga Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin benar-benar
dapat dirasakan ummat Islam Indonesia di tengah keberagaman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Medan, 26 April 2024
Penulis:
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah
Kelurahan Tangkahan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Eka Putra Zakran, SH
MH

Skill Komunikasi Bagi Perilaku Karyawan di Dalam Organisasi dan Bagi Kinerja Perusahaan di Era digital, Vuca, dan Disrupsi

Tugas dan Wewenang Staff Legal yang Perlu Diketahui

Usulan Dua Panel Penghitungan di TPS oleh KPU Wajib Didukung

Mari Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Pada Pemilihan Umum

Peran Aktif Masyarakat Menentukan Pemilihan Umum yang Berkualitas
