Ahmad Hadian: Pilkada Kotak Kosong, Gejala Politik Yang Tak Sehat
Kitakini.news - Bila Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar, Rabu (27/11/2024) mendatang berhadapan dengan Kotak Kosong, maka hal itu menjadi gejala politik yang tidak sehat.
Baca Juga:
"Pilkada dengan lawan Kotak Kosong itu mencerminkan Hegemoni satu pihak yang dianggap hebat dan tidak akan terkalahkan, dan ini gejala politik yang tidak sehat," cetus Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut), Ahmad Hadian kepada wartawan melalui sambungan seluler dari Medan, Selasa (16/7/2024).
Hal ini dikatakan Ahmad Hadian menjawab pertanyaan berkaitan dengan sejumlah partai politik (Parpol) yang mengerucutkan pilihan pada satu pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada serentak tahun ini.
Menurut Ahmad Hadian, hal itu diduga terjadi faktor (a) karena sang calon memiliki jaringan dengan rezim kekuasaan, (faktor b) memiliki dana sangat besar sehingga mampu memborong semua partai dan membiayai sosialisas.
"Atau bisa juga karena misalnya ia seorang Incumbent yang memiliki dukungan kuat dari rakyat karena kinerjanya yang sangat baik selama menjabat sebelumnya," imbuh Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Namun, lanjut Hadian, faktanya menurut pengamatan dirinya fenomena Kotak Kosong itu seringnya disebabkan oleh faktor calonnya memiliki jaringan dengan rezim kekuasaan, dan calonnya memiliki dana sangat besar sehingga mampu memborong semua partai dan membiayai sosialisasi.
"Adapun kinerjanya yang sangat baik selama menjabat sebelumnya itu sangat jarang terjadi," sebutnya.
Kalau dasarnya hanya faktor (a) dan (b), maka sesungguhnya ini gejala yang buruk bagi politik Indonesia. Artinya Parpol-Parpol yang notabene sebagai pemilik tiket/pengusung calon, jelas mempraktekan Pragmatisme Politik.
"Mereka mendahulukan "keselamatan" partainya semata dengan mengesampingkan faktor keseimbangan politik," sebutnya.
Padahal dalam menjalankan pemerintahan, keseimbangan kekuatan politik itu sangat perlu, agar ada Check and Balances/Controlling dari fraksi fraksi terhadap kepala pemerintahan.
"Jika ini tidak ada, bahaya. Pemerintahan akan sangat rawan penyelewengan," jelasnya.
Masih kata Hadian, harus ada terobosan dan keberanian politik dari parpol parpol untuk masing masing menunjukkan jati dirinya bahwa dukungan yang diberikan itu disebabkan karena prestasi dan kebaikan sang calon.
Yakni kinerjanya yang sangat baik selama menjabat sebelumnya, sehingga rakyat bisa melihat parpol mana yang berada di pihak rakyat.
"Artinya, bukan berada di pihak penguasa. Meskipun kita harus jujur bahwa hal ini masih sulit untuk dilakukan oleh parpol karena iklim politik kita memang masih seperti ini," ungkapnya.
Namun seandainya tetap terjadi Pilkada kotak kosong, ya tidak perlu juga dianggap sebagai kegagalan sistem politik.
"Masih ada harapan, sebab Pilkada kita kan dipilih langsung oleh rakyat. Maka rakyat di sini punya kesempatan untuk melakukan "perlawanan politik", dengan memilih kotak kosong tersebut jika memang calon tunggal tersebut tidak mumpuni (tidak layak untuk dipilih)," katanya.
Justru di sinilah, lanjut Hadian,letak krusialnya pemilihan langsung itu, di mana kekuasaan diberikan kepada rakyat.
"Meskipun untuk hal ini terus terang saya pun tak punya keyakinan kuat akan terealisasi, sebab pragmatisme politik pun masih kental juga terjadi di kalangan masyarakat kita. Inilah PR besar perpolitikan Indonesia," lanjutnya.
Maka, agar tidak terjadi Pilkada kotak kosong ini dirinya secara pribadi berharap kepada parpol parpol untuk "out of the box" atau melakukan terobosan yang berani.
"Atau mungkin alternatifnya dengan mendorong calon independen. Namun apakah dengan waktu yang cukup mepet ini bisa dilaksanakan?," pungkasnya. (**)