Relawan Ganjar-Mahfud di Sumut Sebut Kasus Boyolali Kembali Coreng Demokrasi
Kitakini.news - Relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Sumatera Utara mengutuk keras kasus kekerasan di Boyolali, Jawa Tengah yang menimpa masyarakat. Pasalnya kejadian tersebut melibatkan sejumlah oknum TNI yang sejatinya menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyat.
Baca Juga:
Koordinator Front Demokrasi Sumatera Utara (FDSU), Jhony Sitompul menyebutkan kasus tindakan represif oknum aparat TNI kepada relawan Ganjar-Mahfud menambah catatan kekerasan terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Apalagi hingga menyebabkan seseorang meninggal dunia.
"Ini seakan menjadi pesan 'teror' bagi demokrasi di Indonesia. Apalagi ini momentum Pemilu yang sangat penting bagi negara, dalam menjaga stabilitas dan keamanan, khusunya terhadap kebebasan berekspresi kita," ujar Jhony, Kamis (4/1/2024).
Pihaknya menilai bahwa, apa yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka di Jawa Tengah sebagai sesama relawan pasangan Capres-Cawapres Nomor Urut 3, adalah bentuk ekspresi sekaligus semangat perjuangan untuk mengkampanyekan Ganjar-Mahfud.
"Kita menilai bahwa konvoi kendaraan bermotor tidak hanya ada di Boyolali. Bahkan di Sumatera Utara sendiri, itu juga bisa ditemui. Termasuk daerah-daerah lain. Apalagi ini masa Pemilu, tentu euforia itu biasa terjadi," ungkapnya.
Sehingga tindakan kekerasan yang menimpa para relawan Ganjar-Mahfud menurut pihaknya, tidak hanya proses hukum kepada para pelaku oknum TNI, tetapi juga secara institusi, Panglima TNI maupun Kapolri, harus menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk lebih bersikap tenang dan tidak perlu represif.
"Seakan menjadi pertanyaan kita, kenapa seolah keberadaan geng motor yang marak dan meresahkan masyarakat, tidak pernah kita tahu ada tindakan se-represif itu. Namun ketika ada momentum politik dan demokrasi, justru malah muncul hall-hal begini," kesalnya.
Ia juga menganggap, kejadian di Boyolali sebagai bentuk diskriminasi terhadap rakyat kecil. Sebab jika alasannya adalah suara bising knalpot blong, maka harusnya aparat bertindak tegas ke konvoi sepeda motor besar hingga sesan mewah berharga ratusan juta hingga miliaran.
"Kami meminta seluruh jajaran aparatur pemerintah, TNI/Polri untuk bersikap menjaga keamanan, tanpa mengedepankan kekerasan. Dan kepada seluruh relawan Ganjar-Mahfud di Indonesia, agar jangan gentar sedikitpun dengan ancaman. Karena kita bukan pelaku kriminal, kita adalah pejuang demokrasi, yang memperjuangkan demokratisasi Pemilu, yang adil dan damai," pungkasnya.
Senada dengan itu, Direktur Wilayah Program Gotong Royong untuk Ekonomi Sejahtera dan Inklusif (Progresif) Sumut, Lismardi Hendra menilai peran TNI/Polri dalam momentum Pemilu adalah memastikan seluruh rangkaian proses demokrasi berlangsung aman dan demokratis. Sehingga tidak ada kesan diskriminasi, khususnya kepada masyarakat kecil yang ikut meramaikan pesta demokrasi.
"Kampanye itu kan bagian dari kebebasan berekspresi, bukan tindakan kriminal. Terlebih lagi, kita dengar pelaku kekerasan kepada relawan Ganjar-Mahfud adalah oknum TNI. Tentu kita tidak bisa terima begitu saja klarifikasi yang menyebutkan itu kesalahpahaman dan tindak spontanitas oknum. Karena, ketika seseorang menjadi aparat negara, ada nilai yang harus dijaga di dalam diri, baik sedang bertugas, berpakaian dinas, maupun saat membaur bersama masyarakat," kata Hendra.
Sementara Ketua Gerak '98 Sumut, Hendra Kaban melihat bahwa kejadian Boyolali mengindikasikan bangkitnya era Neo Orde Baru. Sebab, ada unsur dugaan arogansi oknum aparat negara, dimana masa reformasi menegaskan peran TNI sebagai penjaga Republik Indonesia yang mesti bersikap profesional.
"TNI lahir dari rahim rakyat, sehingga harus bersikap netral di semua golongan. Jangan sampai tragedi penculikan aktivis rakyat seperti tahun 1998 terulang kembali," sebutnya.